Krisis Amerika dan Ekonomi Kapitalis
Krisis Ekonomi Amerika dalam Sejarah
Disebutkan oleh para pakar bahwa krisis Amerika di tahun 2008 ini memang belum separah krisis yang terjadi pada tahun 1929, atau yang masih senantiasa dikenang dengan sebutan Great Depression 1929. Peristiwa tersebut adalah depresi yang paling besar dan dikenang sepanjang sejarah. Terjadi selama 10 tahun sejak 1929 hingga 1939. Pasar saham di seluruh dunia saat itu berjatuhan dan bank-bank di Amerika Serikat mengalami kebangkrutan. Jutaan pengangguran bermunculan dan kemiskinan merajalela.

Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, di Barat memang telah diterapkan kapitalisme klasik/liberal (Ebenstein & Fogelman, 1994). Slogannya adalah laissez faire, yang didukung Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776). Slogan berbahasa Prancis itu Inggrisnya adalah leave us alone. Artinya, biarkan kami (pengusaha) sendiri, tanpa intervensi pemerintah. Walhasil, peran negara sangat terbatas, karena semuanya diserahkan pada mekanisme pasar. Kapitalisme liberal ini terbukti gagal, ketika tahun 1929-1939 terjadi Depresi Besar (Great Depression) di Amerika Serikat akibat keruntuhan pasar modal di Wall Street tahun 1929. (Adams, 2004).

”The Wall Street Crash” yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1929 merupakan salah satu kehancuran bursa paling dahsyat dalam sejarah pasar modal dunia. Kehancuran itu berawal dari eforia warga AS berinvestasi besar-besaran di pasar saham. Eforia itu menjadi-jadi ketika para pialang meminjamkan dana kepada investor untuk membeli saham, atau dalam istilah pasar modal dikenal dengan margin trading. Di sisi lain, para analis dan spekulan memuji-muji saham tertentu walaupun sebenarnya saham itu sampah.

Uang yang masuk ke pasar modal AS secara bertubi-tubi mengangkat harga saham menjadi terlalu tinggi, melebihi pertumbuhan fundamental emiten saham itu sendiri. Selanjutnya, yang terjadi adalah gelembung ekonomi (economic bubble). Ibarat balon yang terus ditiup, bursa AS akhirnya ”meletus”. Investor yang baru meraih keuntungan besar dari pasar yang sedang bergairah tiba-tiba harus mempersiapkan diri untuk jatuh miskin.

Setelah mencapai puncaknya pada 3 September 1929 di level 391,17 poin, Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) kemudian terkoreksi selama sebulan hingga turun 17 persen. Kamis, 24 Oktober 1929, investor kembali berlomba melepas sahamnya secara massal. Peristiwa yang dikenal dengan ”Black Thursday” atau ”Kamis Kelabu” itu mengakibatkan Dow Jones kembali jatuh, sebesar 13 persen.

Great Depression Jilid II
Dunia kapitalis rupanya tidak bisa berlepas dari krisis. Tercatat ada 16 kali krisis yang pernah terjadi di dunia ini. Dan yang paling fenomenal adalah Great Depression, sebagaimana penulis sebutkan di atas. Sementara untuk krisis yang terjadi tahun ini, disebutkan oleh Kompas.com bahwa total kerugian yang dialami bank-bank diperkirakan mendekati 1.000 miliar dollar Amerika Serikat. Kerugian itu, antara lain, dialami Merril Lynch mencatat kerugian 52,2 miliar dollar AS, Citigroup 55,1 miliar dollar AS, UBS AG 44,2 miliar dollar AS, dan HSBC 27,4 miliar dollar AS. Termasuk jatuhnya lima lembaga keuangan terbesar yaitu Bear Stearns, Lehman Brothers, Fannie Mae dan Freddie Mac serta AIG yang menunjukkan magnitude dari permasalahan yang terjadi saat ini.

Lantas, apa sebenarnya yang terjadi, sehingga negara adidaya seperti Amerika terkena dampak krisis yang luar biasa tersebut?
Dalam artikel yang dimuat di Jawa Pos tanggal 28 September 2008, Dahlan Iskan menyebutkan bahwa sebuah perusahaan yang telah go public dituntut untuk meningkatkan laba hingga 20 persen tiap tahunnya. Hal ini merupakan tanggung jawab CEO dan direktur perusahaan, sementara para pemegang saham hanya ingin tahu bahwa saham yang dipegang, nilai dan labanya terus naik.

Para pemegang saham hanya ingin tahu bahwa harga saham tersebut selalu naik, dengan alasan agar ketika saham itu dijual, memiliki nilai lebih tinggi daripada saat mereka membelinya dulu. Sementara laba yang harus selalu naik, agar supaya para investor ini mendapat deviden atau pembagian keuntungan yang lebih banyak bila dia tak mau menjual saham tersebut.

Karenanya, para CEO berpikir keras agar selalu mampu mewujudkan dua hal di atas, peningkatan laba dan nilai saham. Alasannya agar tetap dapat mempertahankan jabatan dan gaji dan bonus yang selalu meningkat. Sehingga terjadilah simbiosis mutualisme antara pemegang saham dan para direktur. Berbagai cara kemudian dilakukan bahkan hingga menyentuh ranah pelaku politik. Banyak kebijakan yang kemudian disetir agar memberi jalan bagi para CEO tersebut untuk selalu berhasil meraih dua hal di atas. Sementara bagi pelaku politik keuntungannya adalah mendapatkan dana kampanye dan dukungan.

Dengan cara ini ekonomi AS berkembang pesat. Dan sudah 60 tahun AS membesarkan perusahaan dengan cara ini, yang merupakan bagian dari ekonomi kapitalis sehingga AS menjadi penguasa dunia. Tapi itu belum cukup, segala hal harus yang terbaik, terkomputerisasi, bonus yang sudah besar harus dibuat lebih besar lagi. Disinilah ketamakan AS terlihat.

Ketika semua orang sudah membeli rumah, seharusnya tidak ada lagi perusahaan penjual rumah bukan. Namun kenyataannya perusahaan harus meningkatkan penjualan untuk mendapatkan pertumbuhan laba. Maka dicarilah jalan agar rumah terjual lebih banyak. Jika orang sudah memiliki rumah maka diciptakan agar hewan peliharaan juga memiliki rumah. Termasuk barang-barang bergerak seperti mobil.

Namun ketika hewan dan mobil telah memiliki rumah, siapa lagi yang harus membeli?
Maka di tahun 1980, Pemerintah AS mengeluarkan keputusan ‘Deregulasi Kontrol Moneter’, intinya dalam kredit rumah, perusahaan real estate diperbolehkan menggunakan variable bunga. Artinya boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini merupakan peluang besar bagi perusahaan real estate, broker, asuransi dan keuangan. Dari sinilah, para pengusaha tersebut mulai bermain.

Awalnya, sejak tahun 1925, AS memiliki UU Mortgage Tentang KPR, yaitu setiap orang yang memenuhi syarat berhak mengajukan dan mendapatkan kredit rumah. Jika penghasilan setahun 100 juta maka ia berhak mengambil kredit mortgage 250 juta. Karena cicilan jangka panjang maka akan terasa ringan.

Tahun 1980, keluar kebijakan untuk menaikan bunga. Bisnis perumahan mulai terbuka peluang, bank bisa mendapatkan bunga tambahan dan broker dan bisnis terkait bisa berusaha kembali. Tak butuh waktu lama hingga pada tahun 1986 hingga semua orang sudah memiliki rumah, dan karenanya pada tahun itu juga, pemerintah AS menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya, pembeli rumah diberi keringanan pajak. Bagi warga di negara maju, keringanan pajak akan mendapat sambutan luar biasa karena nilai pajak yang tinggi.

Tahun 1990 dengan fasilitas pajak, bisnis rumah meningkat hingga 12 tahun ke depannya. Dari mortgage 150 milyar USD dalam setahun menjadi 2 kali lipat di tahun-tahun berikutnya. Tahun 2004, mortgage mencapai 700 milyar USD per tahun. Gairah bisnis rumah yang terus meningkat ini membuat para pelaku bisnis menghalalkan segala cara. Mulai dari iklan yang jor-joran, keluarnya lembaga investment bank, hingga melunaknya persyaratan KPR. Dalam pikiran pengembang, jika orang tidak bisa membayar kredit atau kredit macet, toh rumah masih bisa dijual karena perhitungannya tiap tahun harga rumah meningkat. Jadi mereka masih untung ketika terjadi kredit macet.

Namun ternyata dalam jangka kurang dari 10 tahun, banyak kredit macet. Banyak orang menjual rumah, harga menjadi turun sehingga nilai jaminan rumah tidak cocok lagi dengan nilai pinjaman. Satu per satu lembaga investment banking bergururan seperti efek domino.

Berapa juta rumah yang termasuk mortgage? tidak ada data namun dari nilai uangnya sekitar 5 triliun USD. Jadi kalo George Bush meminta bantuan dana 700 milyar USD itu baru sebagian kecil. Kongres kawatir apakah harus menambah 700 milyar USD lagi jika bailout yang pertama tidak berhasil.

Sistem Ekonomi Self Destructive
Dengan ini terlihat jelas, bahwa ternyata sistem ekonomi kapitalis tidak sekuat yang dibayangkan. Sebuah sistem yang oleh Francis Fukuyama disebut sebagai akhir sejarah dunia. Bahkan sebaliknya, banyak orang menyebutnya sebagai sistem rapuh yang bersifat self destructive. Minimal ada tiga hal yang membuat sistem ini disebut sebagai sistem yang ‘menghancurkan dirinya sendiri’.

Pertama, ekonomi berbasis moneter. Sistem ekonomi kapitalis dibangun dengan monetery based economy (ekonomi berbasis sektor moneter). Implikasinya sistem ekonomi kapitalis banyak bermain pada sektor-sektor non riil. Basis ekonomi ini dicirikan dengan adanya bursa saham dan pasar modal yang didalamnya diwarnai dengan aktivitas jual beli saham, obligasi dan berbagai komoditi tanpa adanya syarat serah terima komoditi yang diperjualbelikan. Bahkan komoditi tersebut dapat diperjualbelikan berkali-kali tanpa harus mengalihkannya dari pemilik asli. Model transaksi semacam ini adalah batil dalam pandangan Islam dan mampu menimbulkan banyaknya spekulasi yang berujung pada goncangan pasar.

Kedua: ekonomi berbasis uang kertas. Terjadinya perang dunia pertama pada tahun 1914 telah membuat negara-negara di dunia mengeluarkan cadangan emasnya guna biaya perang. Hal inilah yang kemudia membuat cadangan emas di dunia bertumpuk di Amerika. Kondisi ini kemudian membuat pemerintah negara lain terpaksa beralih ke sistem uang kertas. Akhirnya di kota kecil Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tanggal 22 Juli, 1944, petualangan USD dimulai.

Pasca perang, sistem keuangan internasional kacau, masing-masing negara berlomba-lomba mencetak uang untuk membiayai pembangunan kembali negarannya tanpa diback up dengan kecukupan cadangan emas. Hiper inflasi terjadi (mata uang Jerman pernah sampai 4 trilliun Marks = 1 USD !!), singkat kata, negara Eropa tengah terperangkap dalam resesi. Amerika dan Inggris melakukan inisiatif dalam berbagai pertemuan internasional, kedua negara pemenang perang ini saling berebut untuk memenangkan kepentingannya dalam perjanjian ini. Akhirnya perjanjian Bretton Woods pun ditanda tangani oleh 44 negara.

Dua butir kesepakatan yang sangat penting adalah :
a. Terbentuknya IMF
b. USD dan Poundsterling disepakati sebagai cadangan devisa dari negara penandatangan perjanjian.

Keberhasilan yg dibuat oleh para leluhur Amerika inilah, khususnya butir b, merupakan penyumbang terbesar dalam kejayaan Amerika sampai saat ini, dan saat itu jugalah lingkaran “USD currency traps/jebakan” dimulai. Semenjak disahkannya perjanjian Bretton Woods, konsep mata uang berbasis emas kemudian disingkirkan dan diganti dengan fiat money atau sistem uang berbasis kertas. Pada saat itu emas dengan berat 28,35 gram dihargai sama dengan 35 dolar AS. Sistem uang kertas inilah salah satu faktor yang menyebabkan rapuhnya sistem ekonomi kapitalis. Uang kertas memiliki kelemahan yang sangat mendasar yaitu selalu terkena inflasi permanen.

Nilai uang 100 juta saat ini tidak sama dengan nilai 100 juta sepuluh tahun mendatang. Oleh karena itu dalam sistem kapitalis dikenal adanya istilah present value (nilai sekarang) dan future value (nilai akan datang). Selain itu sistem uang kertas jauh dari konsep keadilan, karena nilai intrinsiknya tidak sama dengan nilai nominalnya. Bisa saja anda mengantongi uang dengan nominal Rp 10.000 namun ternyata biaya cetaknya hanya Rp 400. Jadi pada hakekatnya Anda tidak mengantongi uang Rp 10.000 namun hanya mengantongi Rp 400.

Ketiga: konsep investasi asing sebenarnya adalah kamuflase dari usaha eksploitasi yang dilakukan oleh negara kapitalis terhadap negara dunia ketiga, yang memiliki kekayaan alam sangat menggiurkan. Investasi asing yang dilakukan di negeri-negeri ini terbukti lebih menguntungkan negara investor. Sebut saja investor asing PT Freeport yang mengeksploitasi emas di Papua dengan keuntungan sekitar Rp 40 triliun per tahun.

Sementara Indonesia sebagai pemilik sah kekayaan alam Papua hanya mendapat 9,4 persen dari keuntungan yang diperoleh. Hal ini tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan konflik sosial yang timbul akibat ketidakadilan. Ada riset menarik yang dilakukan oleh ekonom Sritua Arief pernah menghitung untuk 1 dolar AS yang diinvestasikan di Indonesia ternyata yang balik keluar dari Indonesia adalah sepuluh kali lipatnya yaitu 10 dolar AS. Untuk kasus Freeport dan produk investasi asing lain, bisa dihitung sendiri.

Agenda mereka yang lain adalah privatisasi (swastanisasi) BUMN, penjualan aset-aset strategis negara (milik rakyat) dengan dalih efisiensi dan pengurangan intervensi pemerintah yang mendistorsi pasar. Privatisasi berubah menjadi “rampokisasi” karena dilakukan terhadap BUMN-BUMN yang kinerjanya lebih baik, terutama di sektor non keuangan (Baswir, 2002).