Penurunan permintaan dan harga komoditas pertambangan akibat krisis finansial global, diprediksi akan berlangsung sampai Juni 2009. Dampak krisis itu akan dirasakan oleh kelompok komoditas logam dasar dan batubara. Permintaan dan harga batubara dipastikan mencapai setengah dari kondisi saat ini. Setelah periode itu kemungkinan akan terjadi kenaikan kembali, namun tidak signifikan.

Prediksi ini diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Prof Dr H Irwandy Arif, M.Sc, kepada Majalah TAMBANG, di Jakarta, Selasa, 6 Januari 2008. Menurutnya, pasar dan harga komoditas pertambangan sebenarnya telah menurun tajam sejak kuartal IV (empat) 2008.

Semua itu bermula dari krisis di Amerika Serikat, yang berakibat pada susahnya likuiditas. Selanjutnya permintaan akan bahan-bahan industri hilir pertambangan juga menurun. Contohnya permintaan akan baja dan stainless steel menurun, dan berpengaruh pada logam-logam dasar yang membentuknya.

PERHAPI memprediksi kondisi tersebut akan berlanjut secara jelas sampai dengan Juni 2009. Akan terus terjadi penurunan. Setelah itu mungkin akan terjadi kenaikan, tapi tidak signifikan. Penurunan yang paling besar dirasakan kelompok logam dasar, seperti nikel, seng, aluminium, tembaga, dan lain-lain.

Batubara juga akan terpengaruh, akibat berhentinya operasi atau penurunan produksi pabrik-pabrik besar. “Saat ini yang paling banyak terjadi adalah penurunan produksi antara 5% - 30%,” jelas Irwandy.

Sedangkan bagi perusahaan yang memilih untuk langsung berhenti, tidak akan melakukan kegiatan sambil menunggu dan melihat keadaan. Akibat dari ini semua adalah berkurangnya penggunaan energi, yang berimbas pada anjloknya harga.

Memang yang paling merasakan dampaknya adalah sektor energi yang paling banyak digunakan, yaitu minyak bumi. Pada Desember 2008 lalu minyak sempat turun sampai sekitar USD 30/barel, tapi pada Januari 2009 sudah kembali ke kisaran USD 40/barel.

“Nah, penurunan di batubara akan terasa setelah minyak. Penurunan harga pada batubara itu juga sudah terasa saat-saat ini, walaupun tidak sesignifikan logam dasar,” jelas guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.

Menurutnya, penurunan harga batubara di pasar spot pada 2009 rata-rata bisa mencapai setengahnya. Untuk jenis termal coal, pada harga spot bisa mencapai USD 70 – USD 80 per metrik ton. Padahal harga sebelumnya mencapai diatas USD 100. Untuk jenis cooking coal, pada 2008 berada pada harga USD 325, mungkin di 2009 hanya mencapai USD 150 pada harga spot.

Selama ini pun kita tidak selalu bisa menikmati harga spot itu, mengingat perusahaan-perusahaan batubara di Indonesia biasanya terikat kontrak-kontrak jangka panjang. Pengusaha rata-rata menginginkan kepastian pembelian, sehingga mungkin saja tidak menikmati harga pada pasar spot.

“Kalau logam dasar sudah terpukul dan batubara juga sudah mulai, maka kita berharap kondisi tersebut tidak berlangsung terlalu lama,” ujar Irwandy.